|
ANALISIS TOWN WATCHING
TERHADAP POTENSI GEMPA BUMI PADA DESA LANGENSARI KECAMATAN LEMBANG KABUPATEN
BANDUNG BARAT TAHUN 2017
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penyusun panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah mata
kuliah Geologi Tata Lingkungan “Analisis Town Watching Gempa Bumi ”. Tujuan penulisan makalah ini
adalah untuk menambah pengetahuan kepada pembaca di bidang Geologi dan
Mitigasi Bencana.
Manusia, sebagai makhluk ciptaan
Allah SWT yang paling sempurna harus sadar akan keberadaan dirinya, tidak takut
untuk mengubah kehidupannya untuk menjadi lebih baik, dan tidak berhenti untuk
terus menimba ilmu dalam kehidupan guna keluar dari kebodohan imannya dan
menuju peningkatan nilai dan kecerdasan taqwa dirinya kepada Sang Maha
Pencipta.
Harapan kami adalah sekiranya laporan survey ini dapat membantu dan
memberi informasi kepada teman-teman mahasiswa khususnya program studi perencanaan wilayah dan kota.
Kami juga menyadari bahwa masih banyak
kekurangan pada penulisan ini. Dengan segala kerendahan hati penulis mengharap
kritik dan saran.
Tak ada
gading yang tak retak, kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata. Semoga
makalah ini menjadi pelita bagi individu yang ingin mengembangkan kepribadian
dirinya. Amin.
Bandung, 21 Mei 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II TINJAUAN LITERATUR
BAB
III GAMBARAN UMUM .................................................................................20
BAB IV HASIL TOWN WATCHING
BAB V ANALISIS
BAB VIKESIMPULAN DAN
SARAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia berada pada daerah
pertemuan tiga lempeng tektonik yang
aktif (Pasifik, Eurasia, Indo-Australia)
menjadikan kawasan Indonesia memiliki
kondisi
geologi yang sangat kompleks.
Selain menjadikan wilayah Indonesia ini kaya akan sumber daya alam, salah satu konsekuensi logis dari
kondisi ini adalah menjadikan
wilayah Indonesia rawan bencana
alam. Indonesia berada di daerah cincin
gunung api asia pasifik. Secara geologi, didaerah seperti itu akan banyak dijumpai struktur geologi, seperti patah dan
sesar. Konsekuensi lainya berada pada lempeng
yang aktif adalah berada di daerah rawan
bencana gempabumi.
Gempa bumi merupakan salah satu bencana alam terbesar manusia, gempa
bumi terjadi begitu mendadak dan mengejutkan. Sehingga menimbulkan kepanikan umum yang luar biasa. Jawa Barat termasuk salah satu wilayah yang memiliki kerawanan bencana tinggi,
kondisi ini dipengaruhi
oleh tatanan geologi
yang kompleks sehingga rawan dengan bencana geologi. Berdasarkan data Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di wilayah Jawa barat telah
terjadi 32 kali bencana gempa bumi yang merusak yang bersumber didarat sejak
tahun 1883 sampai sekarang. Wilayah-wilayah
yang mempunyai kecenderungan
terjadi gempa yang sering adalah wilayah padat penduduk seperti Bogor, Cianjur, Pelabuhanratu-Sukabumi, Rajamandala-Padalarang, Ciami-Kuningan, Sumedang-Majalengka,
Tasikmalaya, Bandung dan hampir seluruh wilayah pegunungan Jawa Barat Selatan.
Sesar Lembang yang
terletak di Utara kota Bandung merupakan sumber gempa yang mendapatkan
perhatian dari berbagai kalangan di Indonesia. Hal ini tidak mengherankan,
mengingat posisinya yang sangat dekat dengan kota Bandung
yang merupakan salah satu kota
besar di Indonesia yang menurut data BPS pada tahun 2013 memiliki populasi penduduk
2.48 juta jiwa. Gempa yang bersumber dari sesar ini dikhawatirkan dapat
mengganggu stabilitas kota Bandung baik secara sosial maupun finansial. Pergeseran
pertama dari sesar Lembang diperkirakan dari bagian timur bertepatan dengan
pembentukan kaldera setelah letusan dahsyat gunung sunda purba sekitar 100.000
tahun yang lalu, sementara bagian barat bergeser pada 24.000 tahun yang lalu
(Nossin, 1996).
Walaupun sebagian
kalangan masih beranggapan bahwa Sesar Lembang bukan merupakan patahan yang
aktif, bukti ilmiah menunjukkan hal sebaliknya. Pengamatan geodetik membuktikan
bahwa sesar Lembang adalah sesar aktif, pergerakannya didominasi mekanisme
sesar geser mengiri dengan kecepatan 3 mm/tahun (Meilano, 2009). Pengamatan
kegempaan dengan menggunakan jaringan stasiun pengamatan gempa milik BMKG yang
berada di sekitar Lembang juga menunjukkan aktivitas kegempaan yang membuktikan
bahwa Lembang merupakan sesar aktif; pernah bergerak dalam 10.000 tahun terakhir
(Keller & Pinter, 1996). Meskipun aktivitas kegempaan Sesar Lembang dapat
digolongkan rendah, namun studi paleoseismologi menunjukkan bahwa antara 500-2000
tahun yang lalu mampu menghasilkan gempa dengan skala M6.6-M6.8 (Yulianto,
2011).
Kota Bandung
terletak pada basin (cekungan) dengan sedimen yang memiliki kecepatan rambat
gelombang geser yang rendah. Gelombang gempa dapat mengalami penguatan ketika
melalui medium yang memiliki sifat seperti ini, sehingga efek kerusakan yang
ditimbulkan dapat menjadi lebih besar di bandingkan medium yang menghantarkan gelombang
geser dengan lebih cepat. Salah satu parameter teknik yang Jika magnitudo 6.8
dari hasil penelitian paleoseismologi digunakan sebagai parameter skenario
maksimum untuk gempa yang berasal dari sesar Lembang, maka sebaran dari
kekuatan guncangan berdasarkan salah satu persamaan atenuasi (Boore &
Atkinson, 2008). Sebagian besar kota Bandung diperkirakan akan mengalami
percepatan puncak sekitar 0.21 – 0.25 g atau setara dengan MMI VI-VII. Bangunan
dengan desain dan konstruksi yang sangat baik diperkirakan tidak akan mengalami
kerusakan yang berarti, sementara bangunan dengan konstruksi standar
diperkirakan dapat mengalami kerusakan ringan hingga tingkat kerusakan sedang,
namun bangunan dengan konstruksi yang buruk dapat mengalami kerusakan berat.
1.2 Tujuan dan Sasaran
1.2.1 Tujuan
Mengidentifikasi potensi bencana gempa bumi serta tingkat kerentanannya terhadap bencana di kawasan Gunung Batu
1.2.2 Sasaran
Untuk tahap selanjutnya yaitu
menentukan sasaran, guna mencapai tujuan yang akan dicapai. Adapan sasaran yang
akan dilakukan, tahapan-tahapannya yaitu:
a. Terindetifikasinya potensi kebencanaan di Kawasan Gunung Batu, Desa Lengansari, Lembang
b. Terpetakannya kondisi kebencanaan dan kerentananan di wilayah kegiatan town watching
1.3 Ruang Lingkup Perencanaan
Lingkup wilayah kegiatan Town watching di kawasan Gunung Batu adalah
melingkupi daerah Gunung Batu dari kawasan Bandung Utara seperti tergambarkan
pada peta di bawah ini.
1.4 Metodologi
Pada penelitian
ini, penulis menggunakan data
primer dan sekunder dengan mendatangi langsung lokasi objek penelitian serta
membaca referensi dari artikel-artikel yang terdapat di internet. Selama melakukan
penelitian, penulis mendapatkan
beberapa foto dari beberapa titik di Kawasan Gunung Batu Lembang yang akan
dijadikan tempat sebagai titik penelitian. Selain melakukan
penelitian mengenai kondisi
geologi, pada penelitian ini dilakukan studi mengenai potensi gempa bumi yang
sewaktu-waktu akan terjadi diwilayah terebut.
1.5 Sistematika Pelaporan
I.
PENDAHULUAN
Pada bab ini menjelaskan
mengenai latar belakang kegiatan serta tujuan dan sasaran yang akan dicapai,
disertai dengan ruang lingkup dan metodologi pelaksanaan kegiatan watching
II.
TINJAUAN LITERATUR
Pada bab ini memberikan gambaran
mengenai kebencanaan dari sisi teori
serta kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kebencanaan di wilayah
pelaksanaan kegiatan town watching
III.
GAMBARAN UMUM
WILAYAH KEGIATAN
Pada bab ini memberikan gambaran
umum wilayah kegiatan town watching yaitu di Gunung Batu
IV.
HASIL KEGIATAN TOWN
WATCHING
Pada bab ini memaparkan hasil-hasil
pengamatan dari town watching di Gunung Batu dan memberikan penjelasan sesuai
kondisi eksisting di lapangan
V.
ANALISIS HASIL
KEGIATAN TOWN WATCHING
Pada bab ini menganalisis
kesesuaian hasil kondisi lapangan dengan kebijakan serta teori yang terkait
dengan kebencanaan di wilayah pengamatan town watching
VI.
KESIMPULAN
Pada bab ini memberikan kesimpulan yang terkait dengan hasil analisis
kegiatan town watching di Gunung Batu serta memberikan saran saran yang terkait dengan pengembangan di wilayah Gunung
Batu
BAB II
TINJAUAN LITERATUR
2.1 Tinjauan Teori
2.1.1 Town Watching
Town
watching adalah teknik
partisipatif yang digunakan dalam masyarakat atau perencanaan lingkungan dalam
konteks unit administrasi yang lebih besar (seperti kota atau kabupaten), dan
diharapkan keikutsertaan masyarakat agar dapat mengenali masalah kelompok dan
pada akhirnya dapat membuat suatu solusi bersama. Proses pemecahan masalah
dipandu oleh setidaknya satu ahli atau profesional terlatih dalam satu atau
lebih banyak aspek planningiv (Ogawa,2005). Town watching yang telah dikembangkan adalah sebagai suatu
teknik yang dilakukan oleh perencana kota menonton yang telah dikembangkan
sebagai teknik yang dilakukan oleh perencana-perencana kota Jepang pada tahun
1970an yang pada akhirnya menjadi popular sebagai alat partisipatif dalam
machizukuriv (Setagaya Machizukuri Pusat 1993) . "
Machizukuri "
telah diterjemahkan sebagai " perencanaan masyarakat " oleh Evansvi (
2001) , dan sebagai " kota yang membuat " partisipatif masyarakat
bangunan vii ( Yamda 2001) . " Machi " berarti kota, kabupaten, masyarakat
dan " Zukuri " berarti membuat atau membangun . Asal usul "
Machizukuri " dapat ditelusuri sebagai gerakan yang terkait dengan
tindakan warga terorganisir untuk melawan polusi di 1960 di Jepang, pemerintah
daerah dibutuhkan untuk beradaptasi dengan menyertakan konsultasi dengan
warganya . Akhir-akhir ini , di beberapa machizukuri daerah
berkembang menjadi bentuk
partnerships ( Yoshimura
2002). Di beberapa tahun terakhir, gerakan " machizukuri " muncul
dari praktek perencanaan Jepang dengan fokus utama pada perkotaan desain yang
mendorong keterlibatan warga. Kekhawatiran machizukuri seperti akses ke jalan umum, ruang terbuka, lahan gunakan,
dll baik diperhitungkan oleh proses town watching. Pada akhirnya penggunaan
istilah town watching telah diperpanjang untuk berurusan dengan masalah fisik yang berkaitan dengan
bencana dan keselamatan seperti kondisi aman atau tempat aman dan rute
evakuasi.
Contoh
Bagan alir kegiatan Town watching (www.preventionweb.net)
Tujuan town watching adalah :
1.
Mengetahui situasi dan kondisi daerah rawan bencana
2.
Meningkatkan kesadaran kepada suatu komunitas atau grup baik orang dewasa
maupun anak-anak akan kesadaran pencegahan bencana
3.
Membudidayakan kemampuan pengumpulan informasi, pemikiran, penilaian,
ekspresi dan komunikasi dari setiap anggota komunitas atau grup akan suatu
wilayah rawan bencana
4.
Wadah sharing pengalaman akan bencana
5.
Menunjukkan masalah-masalah regional dan menyarankan solusi
6.
Membangun sistem kerjasama kapanpun terjadi bencana
7.
Persiapan untuk bencana oleh penduduk lokal dengan kesadaran mengangkat
pencegahan bencana
8.
Menjadi pemicu bagi anak-anak untuk menjadi pemimpin penting dalam bencana
pencegahan di wilayah mereka
Contoh Bagan alir
persiapan Town watching (www.preventionweb.net)
2.1.2 Bencana
Bencana adalah
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan
penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau non-alam
maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (UU 24/2007).
Bencana alam adalah
konsekuensi dari kombinasi aktivitas alami (suatu peristiwa fisik, seperti
letusan gunung, gempa bumi, tanah longsor) dan aktivitas manusia. Kerugian yang
terjadi dalam bidang keuangan dan struktural, bahkan sampai kematian yang
disebabkan karena ketidakberdayaan manusia akibat kurang baiknya manajemen
keadaan darurat. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kemampuan untuk
mencegah atau menghindari bencana dan daya tahan mereka. Pemahaman ini
berhubungan dengan pernyataan: “bencana muncul bila ancaman bahaya bertemu
dengan ketidakberdayaan”. Dengan demikian, aktivitas alam yang berbahaya tidak
akan menjadi bencana alam di daerah tanpa ketidakberdayaan manusia, misalnya
gempa bumi di wilayah tak berpenghuni. Konsekuensinya, pemakaian istilah “alam”
juga ditentang karena peristiwa tersebut bukan hanya bahaya atau malapetaka
tanpa keterlibatan manusia. Besarnya potensi kerugian juga tergantung pada
bentuk bahayanya sendiri, mulai dari kebakaran, yang mengancam bangunan
individual, sampai peristiwa tubrukan meteor besar yang berpotensi mengakhiri
peradaban umat manusia (Tohari, 2008).
Bencana
|
Non Alam
|
Alam
|
Konsepsi Bencana (UU
RI No. 24 Tahun 2007)
Definisi bencana
seperti dipaparkan di atas mengandung tiga aspek dasar, yaitu:
a.
Terjadinya
peristiwa atau gangguan terhadap masyarakat.
b.
Peristiwa
atau gangguan tersebut membahayakan kehidupan dan fungsi dari masyarakat.
c.
Mengakibatkan
korban dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi sumber daya mereka.
d.
Semakin
besar bencana terjadi, maka kerugian akan semakin besar apabila manusia,
lingkungan, dan infrastruktur semakin rentan
(Himbawan, 2010). Bila terjadi hazard, tetapi
masyarakat tidak rentan, maka masyarakat tersebut dapat mengatasi sendiri
peristiwa yang mengganggu. Bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi
peristiwa yang mengancam, maka tidak akan terjadi bencana.
2.1.3 Pembagian Bencana dan Faktor-Faktor Terjadinya Bencana
Menurut Depkes RI
(2007), bencana dapat dikelompokkan menjadi bencana alam dan bencana non alam,
yaitu bencana yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan tingginya risiko bencana baik yang disebabkan oleh faktor alam
maupun non alam antara lain :
a.
Kondisi
alam serta perbuatan manusia dapat menimbulkan bahaya bagi makluk hidup, yang
dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi, bahaya hidrometeorologi, bahaya
biologi, bahaya teknologi dan penurunan kualitas lingkungan.
b.
Kerentanan
yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di
dalam suatu wilayah
yang berisiko bencana.
c.
Kapasitas
yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.
d.
Dengan
beragamnya faktor penyebab bencana serta luasnya ruang lingkup dan dimensi
bencana sesuai UU No 24 Tahun 2007, maka dibutuhkan keterlibatan beragam
keahlian dalam upaya mengatasi dan pengurangan risiko bencana, mulai dari
keilmuan sosial menyangkut kelembagaan, organisasi, pemberdayaan keluarga
dan masyarakat, sampai di bidang teknik
dan ahli dinamika model dan analisis system ( Depkes RI, 2007).
2.1.4 Bahaya (Hazard)
Bahaya adalah suatu
fenomena alam atau buatan yang mempunyai potensi mengancam kehidupan manusia,
kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Berdasarkan United
Nations-International Strategy for Disaster Reduction (UN- ISDR, 2004), bahaya
ini dibedakan menjadi lima kelompok, yaitu:
a.
Bahaya beraspek geologi, antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung api,
longsor.
b.
Bahaya beraspek hidrometeorologi, antara lain: banjir, kekeringan, angin
topan, gelombang pasang.
c.
Bahaya beraspek biologi, antara lain: wabah penyakit, hama dan penyakit
tanaman.
d.
Bahaya beraspek teknologi, antara lain: kecelakaan transportasi, kecelakaan
industri, kegagalan teknologi.
e.
Bahaya beraspek lingkungan, antara lain: kebakaran hutan, kerusakan lingkungan,
pencemaran limbah.
2.1.5 Definisi Kerentanan(Vulnerability)
Kerentanan
(vulnerability) merupakan suatu kondisi dari suatu komunitas atau masyarakat
yang mengarah atau menyebabkan ketidakmampuan dalam menghadapi ancaman bahaya. Cannon (1994) berpendapat bahwa
kerentanan adalah sifat individual atau kelompok dari masyarakat yang mendiami
suatu lingkungan alami, sosial dan ekonomi tertentu, yang dibedakan menurut
keadaan yang berbeda dalam masyarakat. Kerentanan tersebut dibagi dalam 3 aspek
yaitu:
a.
Derajat kekenyalan (degree
of resilience) sistem mata pencaharian tertentu dari individu atau
kelompok, dan kapasitas untuk bertahan dari
dampak bahaya (hazard).
b.
Komponen "kesehatan", adalah kemampuan untuk
pemulihan dari cedera dan kemampuan menyelamatkan diri dari
bahaya.
c. Derajat preparedness (warning system).
Awatonna (1997:1-2)
menjelaskan bahwa tingkat kerentanan adalah suatu hal penting untuk diketahui
sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya bencana, karena
bencana baru akan terjadi bila 'bahaya' terjadi pada 'kondisi yang rentan',
" Natural disasters are the
interaction between natural hazards and vulnerable condition ".
Kerentanan bencana tersebut terbagi ats 6 (enam) tipe, yaitu:
1.
Kerentanan Sosial (social
vulnerability)
2.
Kerentanan kelembagaan (Institutional
vulnerability)
3.
Kerentanan sistem (system
vulnerability)
4.
Kerentanan ekonomi (economic
vulnerability)
5.
Kerentanan lingkungan (enviromental
vulnerability)
6.
Kerentanan akibat tindakan yang tidak memikirkan keberlanjutan (vulnerability caused unsustainable practice)
2.1.6 Definisi Kapasitas (Capacity)
Kapasitas adalah
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana pada semua tahapannya, melalui
berbagai sistem yang dikembangkannya (tradisisi budaya, gotong royong, kesiapan
darurat, kemampuan bangkit kembali, kemampuan membangun yang siap menghadapi
ancaman bencana dsb).
Kapasitas dapat dikategorikan
ke dalam:
a. Fisik atau materi, yang berarti bahwa manusia
dengan sumber daya ekonomi dan materi yang memadai dapat bertahan lebih baik.
Hal ini bisa dalam bentuk uang tunai, tanah, peralatan, makanan, pekerjaan atau
akses untuk mendapatkan kredit.
b. Sosial atau organisasi yang membantu mereka
untuk dapat menghadapi, tahan dan mampu menangani ancaman yang mungkin
ada. Komunitas dengan kepemimpinan yang
baik, kepedulian lokal dan institusi nasional serta dapat borbagi sumber daya
fisik, maka mereka akan lebih mampu bertahan.
c. Tingkah laku atau motivasi,
yaitu anggota masyarakat yang peduli dengan kemampuan yang dimilikinya sendiri
dan tingkat kepercayaan untuk menghadapi tantangan bencana alam.
Kapasitas ditentukan berdasarkan kesiapan dalam mitigasi dan melakukan
langkah tanggap darurat untuk menangani potensi dan kejadian bencana. Kapasitas
daerah meliputi kekuatan dan sumber daya yang ada pada individu, komunitas, dan
pemerintah yang dapat membantu daerah dalam menghadapi kejadian bencana,
melakukan upaya mitigasi atau memulihkan kembali kondisi dari bencana.
Kapasitas juga dapat diukur dari tingkat kesiapan dengan beberapa parameter
antara lain pengetahuan, kelembagaan, mekanisme kerja dan sumberdayanya. Jika di suatu
daerah belum mempunyai unsur parameter tersebut sama sekali, maka kapasitas
daerah dalam menghadapi bencana
dikatakan masih rendah.
Analisis tingkat
ketahanan dapat diidentifikasi dari 3 (tiga) aspek, yaitu
a.
rasio
jumlah tenaga kesehatan terhadap jumlah penduduk,
b.
kemampuan
mobilitas masyarakat dalam evakuasi dan penyelamatan,
c.
ketersediaan
peralatan yang dapat digunakan untuk evakuasi.
Semakin banyak
fasilitas dan tenaga kesehatan di kawasan rawan bencana, akan membuat tingkat ketahanan
kawasan bencana semakin tinggi. Kemudahan
akses mobilitas masyarakat dalam evakuasi juga ikut
mempertinggi ketahanan terhadap bencana.
2.1.7 Mitigasi Bencana
Mitigasi bencana adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk pada semua tindakan untuk mengurangi dampak dari satu bencana yang dapat dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang.
Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko yang terkait dengan bahaya-bahaya karena ulah manusia dan bahaya alam yang sudah diketahui, dan proses perencanaan untuk respon yang efektif terhadap bencana-bencana yang benar-benar terjadi.
Ada empat hal penting dalam
mitigasi bencana, yaitu :
a.
Tersedia informasi dan peta kawasan rawan bencana untuk tiap jenis bencana;
b.
Sosialisasi untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam
menghadapi bencana, karena bermukim di daerah rawan bencana;
c.
Mengetahui apa yang perlu dilakukan dan dihindari, serta mengetahui cara
penyelamatan diri jika bencana timbul, dan
d.
Pengaturan dan penataan kawasan rawan bencana untuk mengurangi ancaman
bencana.
Mitigasi bencana
merupakan suatu aktivitas yang berperan sebagai tindakan pengurangan dampak
bencana, atau usaha-usaha yang dilakukan untuk megurangi korban ketika bencana
terjadi, baik korban jiwa maupun harta. Dalam melakukan tindakan mitigasi
bencana, langkah awal yang kita harus lakukan ialah melakukan kajian resiko
bencana terhadap daerah tersebut. Dalam menghitung resiko bencana sebuah daerah
kita harus mengetahui Bahaya (hazard),
Kerentanan (vulnerability) dan
kapasitas (capacity) suatu wilayah
yang berdasarkan pada karakteristik kondisi fisik dan wilayahnya.
Bahaya (hazard) adalah suatu kejadian yang
mempunyai potensi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan, cedera, hilangnya
nyawa atau kehilangan harta benda. Bahaya ini bisa menimbulkan bencana maupun
tidak. Bahaya dianggap sebuah bencana (disaster)
apabila telah menimbulkan korban dan kerugian.
Kerentanan (vulnerability) adalah rangkaian kondisi
yang menentukan apakah bahaya (baik bahaya alam maupun bahaya buatan) yang
terjadi akan dapat menimbulkan bencana (disaster) atau tidak. Rangkaian
kondisi, umumnya dapat berupa kondisi fisik, sosial dan sikap yang mempengaruhi
kemampuan masyarakat dalam melakukan pencegahan, mitigasi, persiapan dan
tindak-tanggap terhadap dampak bahaya.
Kapasitas (capacity) adalah kemampuan untuk
memberikan tanggapan terhadap situasi tertentu dengan sumber daya yang tersedia
(fisik, manusia, keuangan dan lainnya). Kapasitas ini bisa merupakan kearifan
lokal masyarakat yang diceritakan secara turun temurun dari generasi ke
generasi.
Resiko bencana (Risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan
kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa
terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan
gangguan kegiatan masyarakat. , akibat kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan
kapasitas dari daerah yang bersangkutan.
Menghitung Resiko
bencana di suatu wilayah berdasarkan pada penilaian bahaya, kerentanan dan
kapasitas di wilayah tersebut. Menghitung resiko bencana menggunakan persamaan
sebagai berikut :
Risk (R) = H xV/ C
Keterangan => R :
Resiko Bencana
H : Bahaya
V : Kerentanan
C : Kapasitas
Setelah melakukan
resiko bencana, yang harus kita lakukan ialah melakukan tindakan untuk
mengurangi resiko bencana tersebut. Tindakan yang dilakukan bertujuan untuk
mengurangi kerentanan dan menambah kapasitas sebuah daerah.
Kegiatan yang dapat
dilakukan untuk menguarangi resiko bencana antara lain :
a.
Relokasi penduduk dari daerah rawan bencana, misal memindahkan penduduk
yang berada dipinggir tebing yang mudah longsor
b.
Pelatihan-pelatihan kesiapsiagaan bencana bagi penduduk di sebuah daerah.
c.
Pengkondisian rumah atau sarana umum yang tanggap bencana.
d.
Bangunannya relatif lebih kuat jika dilanda gempa.
e.
Penciptaan dan penyebaran kearifan lokal tentang kebencanaan.
f.
Dan lain-lain
2.1.8 Bencana Alam Gempa Bumi
Gempa bumi
adalah getaran atau guncangan yang terjadi di
permukaan buni akibat pelepasan energi dari dalam secara
tiba-tiba yang menciptakan gelombang seismik. Dalam pembagiannya, gempa
bumi digolongkan menjadi dua,
yaitu gempa bumi vulkanik dan gempa bumi tektonik.
Gempa Bumi vulkanik (Gunung Api)
terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api
meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan
yang juga akan menimbulkan terjadinya gempabumi. Gempa Bumi
tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut. Gempa bumi tektonik
disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng-lempeng
tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga
yang sangat besar. Gempabumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam
di bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi.
Istilah gempa bumi
sesungguhnya bermacam-macam tergantung dari penyebabnya, misalnya gempa
vulkanik, gempa runtuhan, gempa imbasan dan gempa buatan. Gempa vulkanik
disebabkan oleh desakan magma ke permukaan, gempa runtuhan banyak terjadi di
pengunungan yang runtuh, gempa imbasan biasanya terjadi di sekitar dam (penahan
air) dikarenakan fluktuasi air dam (penahan air) dan gempa buatan adalah gempa
yang dibuat oleh manusia seperti ledakan nuklir atau ledakan untuk mencari
bahan mineral. Sedangkan gempa yang disebabkan oleh tabrakan/ tumbukan antar
lempeng. Skala gempa tektonik jauh lebih besar di bandingkan dengan jenis gempa
lainnya sehingga dampaknya lebih besar terhadap bangunan (Ella dan Usman,
2008).
Teori yang terbaru
menerangkan bahwa gempa tektonik berasal dari dekade 1960-an. Menurut teori ini
kerak bumi terdiri dari 14 lempeng tektonik besar dan puluhan lempeng kecil
yang selalu bergerak. Lempengan ini terus bergerak karena bagian dalam bumi
bentuknya adalah cairan pekat. Cairan-cairan tersebut selalu mengalir, walaupun
rata-rata pergerakannya hanya beberapa sentimeter pertahun (Ella dan Usman,
2008).
2.2 Tinjauan Kebijakan
2.2.1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Di dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia secara geografis berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Definisi rawan bencana di dalam UU ini dijelaskan sebagai kondisi atau karakteristik geologis, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi, dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
2.2.2 Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
Dalam undang-undang ini selain definisi bencana yang disebutkan lebih
komprehensif juga diatur pengelolaan dan kelembagaan di tingkat pusat sampai
daerah beserta pembagian tanggung
jawabnya. Termasuk dalam komponen utama di dalam rencana aksi dalam
Undang-Undang Penanggulangan Bencana yaitu, melakukan identifikasi, asesmen,
dan pemantauan terhadap resiko bencana dan pemantauan terhadap berbagai resiko
bencana dan meningkatkan kemampuan deteksi dini. Salah satu fokus dalam dalam
penanggulangan bencana yang dicantumkan dalam undang- undang ini adalah
penguatan Penataan Ruang. Dalam hal ini berarti bahwa domain pengelolaan dampak
bencana sesungguhnya tidak hanya bergerak pada segi penaggulangan saja (ex
post), melainkan harus pula memasukkan segi antisipasi (ex ante).
2.2.3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
Undang-undang ini
mengatur mengenai bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan,
penyelenggaraan, peran masyarakat, dan pembinaan. Dimana fungsi bangunan gedung
meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi
khusus, dimana satu bangunan gedung dapat memiliki lebih dari satu fungsi.
Fungsi-fungsi bangunan gedung tersebut harus sesuai dengan peruntukan lokasi
yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
2.2.4 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi
Pedoman ini bertujuan untuk memberikan acuan bagi
pemerintah daerah/provinsi dalammelaksanakan penataan ruang kawasan rawan
letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dan dengan sasaran dapat
meminimalkan kerugian yang terjadi akibat letusan gunung berapi dan gempa bumi,
baik korban jiwa maupun materi, yang dilakukan melalui penataan ruang kawasan
rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi sehingga
dapat dipertahankan konsistensi kesesuaian antara pelaksanaan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang kawasan
dimaksud.
BAB III
GAMBARAN UMUM
3.1 Kabupaten Bandung Barat dan Sekitarnya
Kabupaten Bandung Barat adalah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia, sebagai hasil pemekaran Kabupaten Bandung. Kabupaten ini berbatasan
dengan Kabupaten
Purwakarta dan Kabupaten Subang di sebelah barat dan
utara, Kabupaten Bandung dan Kota Cimahi di sebelah timur, Kota Bandung di sebelah selatan, serta Kabupaten Cianjur di sebelah barat dan timur.
Kabupaten Bandung Barat mewarisi sekitar 1.400.000 penduduk dari 42,9%
wilayah lama Kabupaten Bandung. Pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Barat
berlokasi di Kecamatan
Ngamprah yang terletak di jalur Bandung-Jakarta. Dan untuk sementara waktu,
pusat pemerintahan Kabupaten Bandung Barat dipindahkan ke Batujajar, dan Kecamatan
Ngamprah akan di pilih menjadi pusat pemerintahan pada tahun mendatang.
Luas Wilayah
Per Kecamatan di Kabupaten Bandung Barat Tahun 2015
3.2 Letak Geografis Kabupaten Bandung Barat
Secara
astronomis, Kabupaten Bandung Barat
terletak antara 6 0 ,373’ sampai
dengan 7 0 ,131’ Lintang Selatan
dan 107 0 ,110’ sampai dengan 107 0 1440’ 06” Bujur Timur. Data iklim bersumber
dari Badan Meteorologi dan Geofisika hanya mencakup data iklim provinsi Jawa
Barat. Suhu udara ditentukan oleh tinggi rendahnya wilayah
tersebut terhadap permukaan laut
dan jaraknya dari pantai. Curah hujan pada suatu tempat antara lain
dipengaruhi oleh keadaan iklim,
keadaan agrografi, dan
perputaran/pertemuan arus angin.
Karena itu, jumlah curah hujan beragam menurut bulan dan letak stasiun
pengamatan. Kecamatan terluas di
Kabupaten Bandung Barat adalah
Kecamatan Gununghalu dan kecamatan
yang memiliki luas terkecil adalah Kecamatan Batujajar.
3.3 Kependudukan
Piramida Penduduk
Kabupaten Bandung Barat menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur di
Kabupaten
Bandung Barat, 2015
Banyaknya
Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
di Kabupaten
Bandung Barat, 2015
Sumber : Hasil Proyeksi
Penduduk Tahun 2010-2035 (Pertengahahn Tahun/Juni)
3.4 Potensi Bencana Gempa Bumi DiKabupaten Bandung Barat
Bencana
Alam Gempa Bumi sering menjadi salah satu bencana yang sering terjadi di
Indonesia .Lintasan yang dilalui oleh sesar lembang di Kecamatan Lembang
merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat berpotensi membahayakan. Para
peneliti sepakat, jika terjadi pergerakan di patahan itu, maka akan dapat
memicu gempa bumi dan yang akan mengancam hidup banyak orang. Namun sayangnya,
masyarakat yang tinggal di sekitar Lembang belum banyak yang mengetahui bahaya
tentang pergerakan Sesar Lembang ini. Dari daerah yang dilaluinya, sesar
lembang tentu saja mempunyai dampak-dampak bila aktif atau bergeser secara
tiba-tiba. Getaran akibat pergerakan berada di bawah tanahi ni memberikan
pengaruh luas, namun tidak terlalu berbahaya. Hal ini sangat bergantung pada
tingkat kedalaman getaran. Struktur patahan menyebabkan gempa di permukaan,
yang dalam hal ini bisa merusak bangunan diatasnya serata keadaan jumlah penduduk
lintasan sesar lembang Kecamatan Lembang yang mencapai 100.922 jiwa.
Berikut jumlah penduduk di 10 desa yang terdapat di Kecamatan
Lembang.Kecamatan lembang memiliki potensi akan terjadinya bencana alam gempa
bumi yang diakibatkan oleh pergeseran sesar lembang. Kondisi ini akan mengancam
keselamatan jiwa dan harta benda penduduk yang berada di kawasan tersebut.
Perencanaan dan pengelolaan kawasan rawan bencana alam perlu diperlakukan
secara khusus melalui usaha pencegahan dan dapat disimpulkan rumusan masalah
adalah “Apa Dampak , Besaran Resiko Bencana yang ditimbulkan oleh Sesar Lembang
di Kecamatan Lembang dan Bagaimana Mengurangi Resiko Bencana Sesar Lembang
dalam Penataan Ruang”.Melihat fenomena diatas tujuan yang ingin dicapai dalam studi
ini adalah Mengindentifikasi Dampak Resiko Bencana Sesar Lembang,menganalisis
resiko bencana sesar lembang,menyusun arahan pemanfaatan ruang dengan
menggunakan analisis resiko bencana dan kesesuaian lahan.Metode analisis yang
dipakai pada studi ini adalah metode analisis kajian resiko bencana yaitu
analisis kepadatan penduduk,kepadatan permukiman dan analisis kesuaian lahan
untuk Berdasarkan hasil analisis kecamatan lembang menunjukan zona wilayah
aman,waspada dan bahaya serta tingkat resiko yang tinggi dari beberapa
indikator yang berada pada 5 Desa yaitu Gudangkahuripan, Kayuambon, Langensari,
Lembang, Mekarwangi yang terletak pada radius 6,7,8,9 dan 10 sedangkan nilai
kerugian kerentanan keseluruhan yang terjadi akibat bencana alam gempa bumi
yang di akibatkan oleh pergerakan sesar lembang dan kerugian besar berada
mencapai lebih dari Rp.1.127.169.668.750.
Berdasarkan pembahasan
yang telah didapat, peneliti memberikan rekomendasi terhadap pola pemanfaatan
ruang berbasis mitigasi bencana di zona bahaya,waspada dan aman dan tingkat
resiko dan kerugian yang tinggi yaitu sebagian permukiman pada zona bahaya 250
m dari pusat lintasan sesar lembang diralokasikan pada wilayah zona aman karena
akan dijadikan ruang terbuka hijau untuk meminimalisasikan tingkat kerugian
serta mengatur penggunaan lahan untuk fasilitas umum dan adanya jalur evakuasi
dan system peringatan dini agar tidak terjadi kerugian dan tingkat resiko yang
tinggi
BAB IV
HASIL TOWN WATCHING
4.1 Lokasi Kegiatan Town Watching
Lokasi kegiatan town watching di desa Langensari mencakup kawasan desa
Langensari menuju Gunung Batu.
KEGIATAN
TOWN WATCHING
Kegiatan town
watching dilakukan pada hari Minggu 21 Mei 2017 hingga Senin 22 Mei 2017,
dengan menggunakan alat bantu berupa GPS, kamera berbasis koordinat, peta dan
alat tulis bantu. Beberapa permasalahan yang menjadi bahan acuan penentuan
lokasi adalah:
a. Kawasan
rawan sesar lembang gempa bumi
b. Kepadatan
penduduk di wilayah desa Langensari
c. Pembangunan
pemukiman yang berada di kawasan Bandung Barat
d.
Limbah yang semakin mencemari desa Langensari berupa kotoran
ternak sapi.
4.2 Gambaran Kondisi Eksisting Dari Wilayah Kegiatan Town Watching
Dari pengamatan yang
dilakukan selama kegiatan town watching dijabarkan dalam bentuk tabel di bawah
ini. Tabel Hasil pengamatan town
watching di desa Langensari Kawasan Langensari – menuju arah Gunung Batu.
NO
|
Lokasi pengamatan
|
lokasi
|
Hasil pengamatan
|
|
1.
|
|
|
Di lokasi ini merupakan pusat gempa.
|
|
2.
|
|
|
kondisi bangunan di desa Langensari dilihat
dari foto sebagian bangunan tingkat kerapatannya sangat tinggi dan menghambat jalur evakuasi bila terjadi gempa
bumi.
|
|
3.
|
|
|
Di lokasi ini menjadi tempat untuk evakuasi
bila terjadi gempa bumi di desa langensari.
|
|
4.
|
|
|
Mata penceharian warga desa langensari ialah
sebagian besar bercocok tanam.
|
|
5.
|
|
|
Terdapat pos pemantauan di gunung batu/patahan lembang.
|
|
4.3 Hasil Gambar Survey dan Wawancara di Desa Langensari
wawancara dengan staf kantor desa
Langensari
Hasil Wawancara dengan Kepala Desa
Lengansar
i
i
Wawancara dengan warga Desa Langensari
BAB V
ANALISIS
5.1 Analisis kebijakan Kabupaten Bandung Barat
Berdasarkan hasil kegiatan town watching, kondisi di
lapangan menunjukkan kebijakan yang mengatur mengenai Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana tidak dilaksanakan dengan baik oleh pemerintah daerah
kabupaten Bandung Barat selaku pengemban Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.
2 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Hal ini dapat
dilihat bahwa belum adanya alokasi dana khusus untuk kawasan rawan bencana
serta belum adanya sosialisasi yang komprehensif kepada masyarakat tentang
bahaya yang akan ditimbulkan oleh sesar lebang yang salah satunya bertempat di
Gunung Batu, Desa Langensari, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana yang dimaksud diatas adalah Dana
Penanggulangan Bencana adalah dana yang digunakan bagi penanggulangan bencana
untuk tahap prabencana, saat tanggap darurat, pemulihan segera (early recovery)
dan/atau pascabencana.
PERDA Provinsi Jawa Barat No.2 Tahun 2010 Tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, yang tertuang dalam Paragraf 2 “Situasi
Tidak Terjadi Bencana” Pasal 15 Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam
situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf a,
meliputi:
a.
perencanaan penanggulangan bencana;
b.
pengurangan risiko bencana;
c.
pencegahan;
d.
pemaduan dalam perencanaan pembangunan;
e.
persyaratan analisis risiko bencana;
f.
pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang wilayah;
g.
pendidikan dan pelatihan; dan
h.
persyaratan standar teknis penanggulangan bencana.
Perencanaan penanggulangan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi :
a.
pengenalan dan pengkajian ancaman bencana;
b.
pemahaman tentang kerentanan masyarakat;
c.
analisis kemungkinan dampak bencana;
d.
pemilihan tindakan pengurangan risiko bencana;
e.
penentuan mekanisme kesiapan dan penanggulangan dampak bencana; dan
f.
alokasi tugas, kewenangan dan sumberdaya yang tersedia.
5.2 Analisis kebijakan penataan ruang
Di dalam RTRW Kabupaten Bandung Barat No.2 Tahun 2012 dapat
dilihat terdapatnya suatu rencana pembuatan Jalur dan ruang evakuasi bencana. Namun apabila dilihat dari beberapa hasil penelitian dilapangan masih
belum adanya peran ikut serta pemerintah daerah dalam permasalahan tersebut yang
seharusnya melakukan sosialisasi tempat dimana evakuasi tersebut dilakukan
Serta belum adanya kejelasan tempat yang sebagaimana tertuang didalam RTRW
Kabupaten Bandung Barat yaitu Jalur evakuasi bencana gempa bumi tektonik
dikecamatan lembang melalui jalan bandung-lembang menuju ruang evakuasi bencana
dikota Bandung.
Di dalam penataan ruang kabupaten Bandung Barat , terlihat masih perlunya penataan yang menyeluruh
tentang ruang pemanfaatan di kawasan Gunung Batu,
dimana hampir seluruh ruang pemanfaatan tersebut memiliki tingkat kerentanan
yang cukup tinggi untuk dapat dimanfaatkan bagi permukiman dengan tingkat
kepadatan sedang hingga tinggi. Apabila hal tersebut tidak diperhatikan, maka para pengembang hotel mupun
villa akan membangun bangunan dikawasan Gunung Batu tersebut yang sangat rawan bencana gempa
bumi, ini juga diperkuat dengan adanya Sesar Lembang, yang memungkinkan
memberikan dampak yang cukup serius terhadap masyarakat di wilayah Kabupaten Bandung Barat.
5.3 Analisis Kebijakan Mengenai Kawasan Pariwisata
Gunung Batu Lembang merupakan salah satu tanda sejarah
geologi di kawasan Kota Bandung dan sekitarnya. Gunung yang berada di
ketinggian 1292 MDPL ini terbentuk dari pembekuan magma Gunung Sunda Purba.
Disini juga terdapat sebuah sesar yang memliki potensi untuk terjadinya gempa
di daerah Kota Bandung. Sesar yang sempat diteliti oleh LIPI dan USGS ini
bergerak dengan percepatan pergeseran 3 sampai 3.5 milimeter
per tahun. Sesar ini dapat menjadi daya tarik pengunjung apabila dijadikan
Kawasan Geopark.
Selain sebagai pendidikan, kawasan Gunung Batu juga dapat
digunakan sebagai tempat olahraga luar ruangan dan tempat menyalurkan hobi
fotografi karena dapat digunakan sebagai tempat panjat tebing serta memliki
pemandangan yang indah. Dari puncak gunung ini terlihat dua gunung, yaitu
Gunung Tangkuban Parahu dan Gunung Burangrang. Hal ini dapat digunakan sebagai
spot untuk penyaluran hobi fotografi. Selama ini, daerah Gunung Batu Lembang belum dikelola secara resmi oleh
Pemerintah Kabupaten Bandung
Barat maupun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Jika dilihat dari
potensinya, jika Gunung Batu dijadikan Kawasan Geopark Nasional akan menghasilkan
pendapatan bagi daerah. Selain
mendatangkan keuntungan material, dengan
dijadikannya Kawasan Geopark Nasional
maka seluruh informasi tentang geologi dan sejarah di Gunung Batu akan tersalurkan
kepada masyarakat. Masyarakat disekitar juga dapat
diikut sertakan misalnya menjadi tour guide atau yang memberikan
informasi seputar Gunung Batu dan Sesar
Lembang sehingga memberdayakan
masyarakat sekitar. Melihat kondisi diatas, sudah sebaiknya Gunung Batu Lembang
dijadikan Kawasan Geopark Nasional sehingga
Pemerintah Kabupaten,
Pemerintah Provinsi dan khususnya masyarakat sekitar memperoleh keuntungan
materil dan juga memberikan informasi dan pembelajaran seputar geologi dan
sejarah kepada masyarakat umum dengan berkunjung ke kawasan ini.
5.4 Analisis Kebijakan Mengenai Bencana Gempa Bumi
Daerah
sesar lembang merupakan daerah yang sangat rawan dengan gempa bumi. Dengan
keadaan sesar lembang yang masih aktif dan banyak penduduk yang hidup di
sekitar sesar lembang, membuat mitigasi bencana di daerah sesar sangat perlu
dilakukan. Pengamatan ini dilakukan dengan metode studi literatur dan studi
lapangan ini menghasilkan saran-saran untuk mitigasi bencana sesar lembang.
Saran tersebut diantaranya membuat pemetaan yang lebih teliti dan komprehensif,
memberikan sosialisasi kepada masyarakat dengan kondisi sesar lembang yang
aktif dan merancang jalur evakuasi saat terjadi gempa bumi.
Sesar
Lembang yang terletak di Utara kota Bandung merupakan sumber gempa yang
mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan di Indonesia. Hal ini tidak
mengherankan, mengingat posisinya yang sangat dekat dengan kota Bandung yang
merupakan salah satu kota besar di Indonesia yang menurut data BPS pada tahun
2013 memiliki populasi penduduk 2.48 juta jiwa. Gempa yang bersumber dari sesar
ini dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas kota Bandung baik secara sosial
maupun finansial.
Menurut Bapak Irwan Meilano, pakar Geodesi ITB, kecepatan
laju geser dari sesar lembang setiap tahun adalah 2 mm. Itu adalah hasil rata-rata,
bisa lebih pada suatu tempat, dan bisa kurang di suatu tempat. Pengamatan ini menggunakan
Global Position System, yang keakuratannya dapat
dipercaya. Hal ini membuktikan sesar lembang masih aktif. Sesar
lembang membentang sepanjang 22 kilometer dari Maribaya ke Cisarua. Jejak sesar
tersebut menghilang di Cisarua sedangkan di Maribaya membelok ke selatan. Sesar
Maribaya terhubung dengan sesar Cimandiri dan sesar Baribis yang aktif.
Salah satu daerah yang juga dilintasi Sesar
Lembang adalah Gunung Batu. Wilayah
tersebut merupakan wilayah pemukiman yang padat dan dapat rawan bencana bila
terjadi gempa bumi.
Dari daerah yang dilaluinya, sesar lembang tentu saja
mempunyai dampak-dampak bila aktif atau bergeser secara tiba-tiba. Getaran akibat
pergerakan berada di bawah tanah ini memberikan pengaruh luas, namun tidak
terlalu berbahaya. Hal ini sangat bergantung pada tingkat kedalaman getaran.
Struktur patahan menyebabkan gempa di permukaan, yang dalam hal ini bisa
merusak bangunan diatasnya.
Analisis Bahaya, kerentanan,
dan kapasitas yang ditimbulkan oleh Gunung Batu, Desa Langensari, Kecamatan
Lembang, Kabupaten Bandung Barat
BAHAYA (HAZARD)
|
KERENTANAN (VULNERALIBITY)
|
KAPASITAS (CAPACITY)
|
Magnitute
|
Struktur Bangunan yang tidak kuat terhadap ancaman
bahaya gempa bumi
|
Pelatihan atau Sosialisasi kepada para pelajar
|
PGA
|
Padatnya penduduk yang mendiami wilayah tersebut
|
Adanya tempat evakuasi
|
MMI
|
Perilaku masyarakat yang acuh terhadap ancaman bahaya
gempa bumi
|
|
PETA SESAR
|
Masyarakat yang masih berada dibawah garis kemiskinan
|
|
|
Terbatasnya lahan yang menghambat prosess evakuasi
|
|
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil town watching di Desa Langensari,
Kecamatan Lembang, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Pada umumnya, Kabupaten Bandung Rentan sangat rentan terhadap bencana gempa
bumi yang berasal dari aktivitas sesar lembang ini. Salah satu daerah yang
rawan adalah daerah Gunung Batu. Terlebih lagi setelah ada penelitian dari Pusat
Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung Rahma Hanifa yang mengatakan: “Masyarakat di
Bandung Raya, khususnya yang tinggal di sekitar Lembang, Kabupaten Bandung
Barat, diminta untuk mewaspadai potensi gempa Sesar Lembang. Dengan kekuatan
gempa yang diperkirakan bermagnitudo 6-7 skala richter, dampak gempa bisa
menyerupai gempa di Bantul, Yogyakarta (2006) atau di Pidie Jaya, Aceh (2016)”. Oleh karena itu, Mitigasi
bencana mesti segera dilakukan kepada
masyarakat, gempa besar
akan mengancam kita kapan pun. Tidak ada yang lebih baik
selain mengantisipasinya,
mengurangi resiko, agar tidak ada korban nyawa maupun harta.
2.
Gunung Batu Lembang yang terbentuk dari pembekuan magma Gunung Api Sunda
Purba dan berada di Zona Cekungan Bandung memiliki potensi untuk dijadikan sebagai
Kawasan Geopark Nasional.
Berdasarkan aspek-aspek yang harus ada dalam kawasan geopark, Gunung Batu Lembang
telah memenuhi aspek tersebut. Selain akses yang mudah,
Gunung Batu Lembang yang terdapat sebuah sesar, yaitu Sesar Lembang, memiliki
potensi pendidikan dan potensi wisata rekreasi.
3.
untuk mengurangi dampak gempabumi di sekitar sesar lembang perlu dilakukan:
1. Sosialisasi terhadap masyarakat sekitar sesar lembang
2. Pemetaan sesar secara lebih komprehensif
3. Pencabutan izin mendirikan bangunan di sekitar sesar
4. Bila diizinkan membangun rumah, gunakan pondasi dan struktur tahan gempa
5. Pemanfatan lahan sesar yang aman dan nyaman untuk masyarakat
6. Dibuat peta evakuasi, tempat berkumpul serta posko-posko perlindungan
bila terjadi gempa.
6.2 Saran
Beberapa saran yang diberikan
adalah:
1.
Pemerintah pusat maupun daerah seharusnya secara konsisten menerapkan amanat
yang tertulis di dalam RTRW Kabupaten Bandung Barat No.2 Tahun 2012 dan
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No.2 Tahun 2010 Tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana, yang harus dijalankan secara komprehensif dan
berkesinambungan.
2.
Dilakukanya usaha-usaha untuk memberikan kepekaan terhadap kerentanan
lingkungannya perlu ditingkatkan kepada masyarakat di wilayah rawan bencana ini
agar mereka dapat memahami kondisi alam tempat lingkungan kehidupan mereka
sehari-hari.
Daftar Pustaka
▪
https://rovicky.files.wordpress.com/2009/10/mitigasi-bencana.pdf. Diunduh pada
tanggal 22 Mei 2017/0:14
▪
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/609/jbptitbpp-gdl-harismanni-30416-3-2008ts-2.pdf
. Diunduh
pada tanggal 22 Mei
2017/12:05
▪
http://www.gitews.org/tsunamikit/en/E6/further_resources/national_level/peraturan_menteri/Permendagri%20332006_Pedoman%20Umum%20Mitigasi%20Bencana.pdf.
Diunduh pada tanggal 22 Mei
2017/0:23
▪
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/33906/Chapter%20II.pdf?sequence=4.
Diunduh pada tanggal 21 Mei
2017/11:39
▪
http://www.preventionweb.net/files/12062_TownWatching.pdf.
Diunduh pada tanggal 21 Mei
2017/10:08
▪
https://bandungbaratkab.bps.go.id/new/website/pdf_publikasi/Kecamatan-Lembang--Dalam-Angka-2016.pdf. Diunduh pada tanggal 22
Mei 2017/17:47